“Pak Prabowo presiden baru kami, tolong kami Pak di Myanmar!” Kalimat itu keluar dari mulut seorang WNI yang menangis di sebuah video amatir yang viral beberapa waktu lalu. Dalam rekaman yang menyayat hati tersebut, sejumlah warga negara Indonesia terlihat memohon pertolongan. Mereka mengaku disekap, disiksa, dan menjadi korban penipuan online scam di wilayah konflik Myanmar.
Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ini menjadi satu dari banyak tragedi yang tak kunjung usai. Skema lowongan kerja palsu ke luar negeri kembali memakan korban. Terbaru, sebanyak 554 WNI berhasil dievakuasi dari Myanmar dan dipulangkan ke Indonesia. Mereka terdiri dari 449 laki-laki dan 105 perempuan, dipulangkan melalui Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand.
Evakuasi pertama berlangsung pada 18 Maret 2025, disambut langsung oleh Menlu Sugiono Sugono. Ia menegaskan bahwa pemulangan ini merupakan bentuk nyata dari arahan Presiden Prabowo untuk melindungi WNI di luar negeri.
Pusat aktivitas sindikat penipuan daring berada di wilayah perbatasan Myanmar-Thailand, tepatnya di Miawadi. Proses evakuasi tidak mudah karena sebagian besar korban masuk dengan visa kerja tidak resmi. Lokasi para korban tersebar di berbagai titik seperti Suekoke, Keke Park, dan Hapalu. Pemerintah Indonesia membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk pelacakan, verifikasi, dan negosiasi dengan otoritas Myanmar dan Thailand.
Evakuasi dilakukan dengan 13 bus menempuh perjalanan darat selama 10 jam ke perbatasan Thailand. Namun, di balik keberhasilan itu, kisah pilu para korban masih menyisakan luka. Salah satunya adalah Rinaldi, eks pekerja online scam yang sempat dikurung selama sebulan karena mencoba menghubungi KBRI. Ia bahkan diancam, dipalak, hingga harus berutang ke pinjol demi kebebasan.
“Saya minum air keran, dikurung 30 hari, sampai akhirnya bisa kabur. Tapi semua harus saya bayar sendiri, bahkan sampai digertak tentara bersenjata,” ungkap Rinaldi yang akhirnya bisa pulang lewat jalur penuh teror.
Sementara itu, masih banyak korban lain yang belum bisa pulang. Tuti, salah satunya, kini masih tertahan di Kamboja. Ia terjebak rayuan pekerjaan bergaji tinggi dari temannya sendiri. Gaji yang dijanjikan tak pernah sesuai. Ia hanya menerima Rp1,5 juta lalu dipotong hingga tinggal Rp500 ribu.
Dari berbagai testimoni, sindikat memanfaatkan keputusasaan korban. Banyak yang tergoda iklan di media sosial atau diajak teman. Tanpa kualifikasi dan pengalaman kerja, mereka diterbangkan ke negara yang bukan penempatan resmi tenaga kerja Indonesia seperti Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Iming-iming besar itu nyatanya berujung penyiksaan: dari disetrum, dipukul, hingga diperjualbelikan antar perusahaan lintas negara.
Sayangnya, pola pikir ‘kabur aja dulu’ masih menghantui banyak kepala. Hindside bias—pemikiran seolah bisa menghindari risiko meski jelas ada bahaya—menjadi jebakan psikologis. Para korban kerap berpikir mereka akan baik-baik saja, hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia.
Pemerintah menekankan pentingnya kesadaran masyarakat agar tidak tergiur iming-iming kerja mudah di luar negeri. Edukasi, kewaspadaan, dan peran keluarga sebagai benteng pertama perlindungan WNI harus diperkuat.
Di balik mimpi mencari penghidupan lebih baik, ribuan warga Indonesia justru kehilangan martabatnya. Jika rayuan datang tanpa prosedur jelas, yang seharusnya tumbuh bukanlah niat kabur, tapi keinginan bertanya dan memastikan. Karena sekali terjebak, jalan pulang bisa jadi sangat panjang, atau bahkan tak pernah ada.
Penulis: HAYYIL ZARKASI