Amerika Serikat kembali mengguncang panggung perdagangan dunia dengan keputusan terbarunya menaikkan tarif impor barang-barang dari China secara signifikan. Kenaikan tarif ini tidak tanggung-tanggung, dari yang sebelumnya sudah tinggi di angka 145%, kini melonjak hingga 245%—khususnya diberlakukan untuk mobil listrik dan alat kesehatan seperti jarum suntik yang berasal dari China.
Kebijakan ekstrem ini mencerminkan bahwa perang dagang antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China, tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Justru sebaliknya, semakin panas dan strategis. Langkah ini juga disebut-sebut sebagai bentuk serangan balik dari Donald Trump yang kembali memanaskan tensi ekonomi global setelah sebelumnya menerapkan tarif 145% terhadap barang-barang China, yang dibalas oleh China dengan tarif 125%.
Tarif 245%: Kepentingan Politik di Balik Perang Ekonomi Namun, kebijakan ini tidak semata-mata soal ekonomi dan kompetisi pasar. Menurut pengamat, ada aroma politik balas budi yang cukup kental. Salah satu indikasi kuat adalah spesifiknya kebijakan tarif hanya kepada mobil listrik dari China, seperti BYD, ION, dan Wuling.
Siapa yang paling diuntungkan dari hal ini? Tesla, perusahaan mobil listrik milik Elon Musk. Kebetulan, atau tidak, Elon Musk adalah salah satu penyumbang dana kampanye terbesar untuk Donald Trump. Ini membuat publik berspekulasi bahwa kebijakan tarif ini adalah bentuk kompensasi atau ‘balas jasa’ dalam dunia politik yang memang membutuhkan sokongan dana besar. Sebagaimana halnya di Indonesia, politik di negara demokrasi seperti AS pun tak lepas dari praktik oligarki dan sumbangan politik besar dari kalangan bisnis.
Apple Dikecualikan: Bisnis Besar Punya Jalur Khusus Menariknya, meskipun tarif tinggi diberlakukan secara luas, produk-produk elektronik seperti laptop, smartphone, dan tablet justru dikecualikan. Mengapa? Karena sekitar 80% produk Apple masih diproduksi di China. Meski Apple telah memulai ekspansi manufaktur ke Vietnam dan India, mayoritas iPhone, MacBook, dan produk lainnya masih bertuliskan “Made in China”.
Kebijakan pengecualian ini dianggap sebagai bukti bahwa perusahaan raksasa seperti Apple juga mendapat ‘perlindungan khusus’, demi kelangsungan bisnisnya, bahkan di tengah panasnya tensi politik dan perdagangan.
Strategi Cina: Balas Serangan dengan Propaganda dan Data Tak tinggal diam, Cina juga melakukan manuver yang cerdas namun tidak konvensional. Pemerintah Cina diduga mengerahkan influencer dan media sosial, khususnya TikTok, untuk melancarkan perang informasi yang membuka mata dunia tentang fakta di balik industri fashion dan kosmetik Barat.
Berbagai unggahan viral menunjukkan bahwa banyak brand mewah asal Eropa dan Amerika seperti Dior, Hermès, Louis Vuitton, hingga L’Oréal dan Lancôme ternyata memproduksi barang mereka di China. Bahkan tas Hermès Birkin yang dijual seharga Rp600 juta ternyata biaya produksinya hanya sekitar Rp25 juta, dan seluruh komponennya dibuat di China.
Diungkap pula bahwa lebih dari 80% produk luxury di dunia dibuat di China, meskipun diklaim sebagai buatan Italia atau Prancis. Prosesnya disebut sebagai white labeling, di mana barang dibuat di China lalu diberi label negara lain dengan finishing sederhana, seperti memasang resleting di Italia agar dapat diberi label “Made in Italy”.
Dunia Fashion dan Kosmetik Terbongkar: Brand Mahal, Pabrik dari Timur Fakta-fakta mengejutkan juga terungkap dari hasil riset dan pengakuan para pengusaha dan influencer. Beberapa merek seperti Balenciaga, Gucci, Burberry, Prada, Miu Miu, Armani, hingga Dolce & Gabbana juga disebutkan memproduksi sebagian besar produk mereka di China. Hanya bagian finishing atau pengepakan saja yang dilakukan di negara asal untuk mendapatkan label “Made in France” atau “Made in Italy”.
Bahkan disebut bahwa di Indonesia, ada produsen dari Yogyakarta yang menjahit tas bermerek luar negeri, tapi tidak menyelesaikan prosesnya. Proses terakhir seperti pemasangan resleting dilakukan di Italia agar bisa diklaim sebagai produk Eropa. Harga tas yang di Indonesia hanya Rp500 ribu bisa melonjak menjadi Rp5 juta di pasaran Eropa hanya karena label negara.
Penutup: Perang Dagang Bukan Sekadar Perang Ekonomi Kisruh tarif dan propaganda ini menunjukkan bahwa perang dagang kini tidak lagi sekadar persoalan ekonomi, tapi juga permainan politik tingkat tinggi, dan kini telah merambah ke strategi sosial media dan persepsi publik.
Baik Amerika maupun China sama-sama cerdik dalam memainkan kekuatan yang mereka miliki. Di satu sisi, AS menggunakan instrumen tarif dan kebijakan negara, sementara di sisi lain, China memanfaatkan kekuatan produksi, data, serta pengaruh digital global melalui TikTok dan para influencernya.
Akhir dari perang dagang ini tampaknya masih jauh dari selesai, dan dunia hanya bisa menyaksikan bagaimana dua raksasa ini bertarung tidak hanya di meja negosiasi, tetapi juga di ranah publik, sosial media, dan persepsi global.