Setelah bertahun-tahun terjerat konflik dan krisis kemanusiaan, Suriah mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di bawah kepemimpinan Al Shar’a. Bantuan energi dan ekonomi mulai mengalir dari berbagai pihak, termasuk Qatar dan Arab Saudi. Dukungan internasional yang sebelumnya tertahan sanksi perlahan-lahan bergerak menuju realisasi konkret. Negeri yang sempat hancur kini mulai menyala kembali. Apa saja bantuan yang akan diterima Suriah dan siapa saja pihak yang terlibat? Simak selengkapnya dalam artikel ini.
Qatar berencana menyalurkan gas alam ke Suriah melalui Yordania. Ini menjadi upaya untuk meningkatkan pasokan listrik di negara tersebut dan mendukung pemerintahan baru yang menggantikan rezim Bashar Al-Asad. Kesepakatan ini menandai bentuk dukungan nyata pertama dan paling signifikan dari Qatar kepada pemerintahan baru di Damaskus yang sebelumnya sangat ditentang. Langkah ini juga disebut mendapat restu dari pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump melalui kerja sama antara Dana Pembangunan Qatar dan Kementerian Energi.
Gas tersebut nantinya akan disalurkan ke Suriah sebagai hibah, diterima di Pelabuhan Aqaba, Yordania, dan dipompa melalui Pipa Gas Arab menuju Pembangkit Listrik Der Ali di selatan Suriah. Tahap awal proyek ini diharapkan dapat meningkatkan pasokan listrik sebesar 400 MW per hari yang nantinya akan terus bertambah. Kondisi ini penting mengingat saat ini pasokan listrik di Suriah sangat terbatas, dengan listrik hanya menyala sekitar 2 hingga 3 jam per hari di banyak wilayah.
Namun, pelaksanaan bantuan ini masih menghadapi sejumlah tantangan. Jaringan listrik internal Suriah masih perlu diperbaiki agar dapat menerima aliran energi secara efektif. Selain itu, beberapa persoalan pendanaan dan teknis lainnya juga belum terselesaikan sepenuhnya, meski sudah ada keringanan sanksi dari AS pada awal 2025 yang memungkinkan transaksi energi tertentu. Negara-negara dan lembaga yang ingin membantu tetap menuntut jaminan hukum agar tidak terkena pelanggaran sanksi.
Langkah ini menunjukkan bahwa negara-negara Teluk mulai mengirimkan dukungan politik mereka menjadi bentuk bantuan konkret untuk Suriah. Namun, meski ini adalah awal dari keterlibatan yang lebih luas, efeknya terhadap pemulihan ekonomi dan sosial Suriah secara keseluruhan masih akan sangat bergantung pada konsistensi dan keberlanjutan dukungan internasional di tengah sanksi dan ketidakpastian politik yang masih berlangsung.
Selain dari Qatar, Arab Saudi juga berencana melunasi utang Suriah sebesar 15 juta USD atau sekitar Rp 252 miliar kepada Bank Dunia. Rencana ini merupakan bentuk dukungan finansial pertama dari Riyadh sejak jatuhnya rezim Asad. Bantuan ini juga menandai perubahan signifikan dalam keterlibatan negara-negara Teluk terhadap pemerintahan baru di Damaskus. Sebelumnya, bantuan dari negara-negara Teluk kepada Suriah banyak terhambat oleh ketidakpastian seputar sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS. Namun, dengan rencana Arab Saudi ini, yang belum diumumkan secara resmi tapi telah dikonfirmasi beberapa sumber, terlihat dukungan mereka mulai direalisasikan.
Pelunasan utang kepada Bank Dunia merupakan syarat sebelum lembaga tersebut memberikan bantuan secara resmi. Suriah sendiri tidak memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melunasi utang ini, dan upaya sebelumnya untuk menggunakan aset negara yang dibekukan di luar negeri juga tidak berhasil. Jika utang dilunasi, Bank Dunia bisa segera menyetujui program bantuan untuk memperbaiki infrastruktur penting seperti jaringan listrik yang rusak parah akibat konflik serta menyalurkan dana untuk mendukung pembayaran gaji pegawai negeri sipil. Delegasi teknis Bank Dunia telah melakukan pertemuan langsung dengan Menteri Keuangan Suriah, Muhammad Yaser Benni. Mereka membahas penguatan kerja sama ekonomi dan finansial.
Selain itu, Suriah juga berencana mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington untuk menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Namun, proses ini masih menghadapi banyak tekanan. Meski AS telah memberikan pengecualian sementara untuk transaksi kemanusiaan, banyak pihak tetap menuntut jaminan hukum agar tidak melanggar aturan sanksi. Selain itu, perbedaan pandangan internal di Washington mengenai pendekatan terhadap pemerintahan baru Suriah turut memperlambat keterlibatan langsung AS. Beberapa pihak di Gedung Putih masih curiga dengan pemimpin baru Suriah karena hubungan masa lalunya dengan kelompok ekstremis.
Bantuan dari Qatar dan Arab Saudi menandai awal pemulihan nyata bagi Suriah pasca penggulingan Asad. Qatar memasok gas melalui Yordania untuk mengatasi krisis listrik, sementara Arab Saudi berencana melunasi utang Suriah ke Bank Dunia agar bantuan internasional bisa mengalir. Meski sanksi AS masih menjadi hambatan, langkah ini membuka harapan bagi rekonstruksi dan stabilitas Suriah ke depan.
Penulis: HAYYIL ZARKASI