Trump Tekan Tombol Ekonomi Global, Dunia Gemetar!

Langkah mengejutkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2 April 2025 mengguncang dunia. Dalam momen yang kini dikenal sebagai “Liberation Day,” Trump mengumumkan tarif baru sebesar 10% untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. Banyak yang menyebutnya gila, sebagian menyebutnya jenius. Namun satu hal pasti: dunia ekonomi global kini duduk di meja poker, dan Trump yang membagikan kartunya.

Tarif baru ini, yang disebut “Trump Tariff”, bukanlah sekadar strategi ekonomi biasa. Ini adalah langkah negosiasi tingkat tinggi, atau lebih tepatnya, power play kelas dunia. Amerika Serikat, dengan kekuatan konsumsi domestik lebih dari $18 triliun dan posisi sebagai importir terbesar dunia ($3,4 triliun), kini memaksa negara lain untuk ikut dalam permainan yang ia atur sendiri.

Sasaran utama dari langkah ini tampaknya adalah Tiongkok. Negara yang selama ini mendekati posisi puncak ekonomi dunia mulai membuat AS khawatir. Alih-alih memperkuat lewat inovasi atau pengembangan teknologi saja, Trump memilih taktik konfrontatif: tarif sebagai senjata. Ia ingin membalikkan trade balance yang merugikan Amerika, dan memaksa negara-negara lain untuk menegosiasikan ulang hubungan dagang mereka.

Indonesia termasuk yang terdampak, meski kontribusi ekspor ke AS hanya sekitar 2,5% terhadap PDB. Ironisnya, pasar dalam negeri bereaksi keras. IHSG sempat anjlok, menunjukkan betapa rentannya psikologis publik terhadap ketidakpastian global. Pemerintah Indonesia dinilai gagal memberi kepastian dan ketenangan. Di saat negara tetangga seperti Singapura memberi pernyataan lugas dan jelas pada rakyatnya, Indonesia justru terjebak dalam komunikasi yang kabur.

Yang menarik, banyak pakar melihat langkah Trump ini sebagai gertakan. Pernyataannya soal negara-negara yang “menjilat dan menelepon” Amerika demi mempertahankan income mereka menegaskan strategi bluffing ini. Tapi sayangnya, dunia tidak siap. Termasuk Tiongkok, yang akhirnya membalas tarif AS dengan tarif balasan hingga 84%.

Pasar global pun merespons dengan kepanikan. Tapi seperti dalam permainan poker, Trump kembali mengatur permainan dengan mengatakan tarif akan ditunda 90 hari. Pasar pun kembali hijau. Ini memperlihatkan bagaimana satu pernyataan bisa menggoyang—atau menenangkan—ekonomi dunia dalam sekejap.

Dalam konteks ini, ada pelajaran besar bagi Indonesia: bahwa komunikasi bisa jauh lebih penting daripada strategi ekonomi itu sendiri. Bahwa kejelasan bisa jadi penguat optimisme rakyat di tengah badai global. Sayangnya, saat ini gap informasi lebih banyak diisi oleh influencer, youtuber, dan analis independen, ketimbang pemerintah.

Namun di balik kekacauan, terselip peluang. Di tengah ketidakpastian, terjadi asimetri informasi. Dan di sanalah letak celah kekuasaan baru—dan peluang ekonomi. Seperti teori Schumpeter tentang “creative destruction”, saat status quo runtuh, muncullah ruang bagi para pemain baru untuk naik ke puncak.

Saat banyak orang panik, yang tetap tenang dan berani mengambil risiko yang diperhitungkan justru bisa keluar sebagai pemenang. Bukan hanya di pasar saham, tapi juga di dunia bisnis dan inovasi. Seperti yang terjadi pasca dotcom bubble: perusahaan teknologi menggantikan raja-raja minyak di daftar orang terkaya dunia.

Indonesia bisa mengambil peran strategis jika bersikap tegas dan visioner. Kita mungkin tak jadi pemain utama, tapi bisa jadi aktor penting di dunia yang semakin multipolar. Pertanyaannya: kita mau siding sama siapa, dan kompetensi ekonomi apa yang ingin kita kuasai?

Yang pasti, dunia sedang berubah. Perang dagang ini bukan sekadar soal tarif, tapi soal siapa yang akan memimpin tatanan ekonomi dunia ke depan. Dan kita, sebagai negara berkembang, masih punya peluang untuk menentukan nasib sendiri—asal berani ambil risiko, dan tahu kapan saatnya ‘all in’.

Penulis: HAYYIL ZARKASI

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post