Amerika Serikat kembali memanaskan tensi dagang dengan China. Gedung Putih baru-baru ini merilis dokumen yang mengungkapkan kenaikan tarif impor terhadap produk-produk China hingga total 245%.
Tarif tersebut sebenarnya merupakan akumulasi dari beberapa kebijakan tarif sebelumnya sejak masa pemerintahan Joe Biden. Meski begitu, angka fantastis ini bikin bingung, bukan hanya di kalangan pelaku industri AS tapi juga pemerintah China sendiri yang belum memberikan reaksi keras sejauh ini.
Produk-produk yang terdampak cukup luas. Mulai dari otomotif, peralatan medis, sampai barang elektronik—semuanya bisa kena imbas. Bahkan nilai saham di Wall Street sempat terpukul sebelum akhirnya mulai pulih pelan-pelan usai kebijakan penangguhan sementara diberlakukan untuk beberapa item seperti ponsel, TV, dan komponen elektronik lainnya.
Yang menarik, pemerintah China juga sempat menaikkan tarif balasan hingga 125% dan menahan ekspor bahan baku penting untuk sektor otomotif dan militer AS. Situasi pun makin rumit karena belum ada kesepakatan yang jelas antara kedua negara. China sendiri dinilai belum aktif melobi balik AS.
Indonesia ternyata ikut kecipratan isu ini. Negeri ini jadi salah satu dari 80 negara yang diberikan kesempatan negosiasi atas tarif resiprokal yang ditangguhkan selama 3 bulan. Beberapa pejabat RI seperti Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bahkan sudah berada di D.C. untuk melobi agar tarif bisa dikurangi atau dihapus.
Sektor otomotif jadi salah satu yang paling terpukul. Banyak material mobil di AS berasal dari China, dan kalau tarif ini benar-benar diberlakukan, bukan tidak mungkin harga mobil dan barang-barang elektronik bisa melonjak drastis di pasar AS. Bahkan iPhone sekalipun, meski buatan AS, komponennya banyak dari China.
Dalam beberapa pekan ke depan, konsumen AS mungkin mulai merasakan dampaknya. Dan kalau ketegangan ini berlanjut, bukan nggak mungkin efeknya ikut menjalar ke perekonomian global.
Penulis: HAYYIL ZARKASI